Otak Juga Memengaruhi Kepribadian Kita

2 Komentar


Mana yang lebih dominan pengaruhnya bagi perilaku seseorang? Genetik atau lingkungan? Ilmuwan menemukan faktor lain, yakni otak. Ya, otak manusia ternyata juga memengaruhi perilakunya. Ukuran sebuah area pada otak berhubungan erat dengan kepribadian seseorang.

Mayoritas orang dengan kepribadian altruistik, yakni orang yang peduli pada sekitar, mempunyai ukuran lebih besar di area bawah cingulated cortex, wilayah otak yang terlibat dalam memahami keyakinan orang lain. Ukuran yang lebih besar pada area ini diasumsikan bekerja lebih kuat.

“Dari studi ini kita bisa memulai teori mengenai bagaimana kepribadian dihasilkan oleh otak,” ujar peneliti Colin DeYoung dari University of Minnesota. Selama ini dipercaya bahwa kepribadian seseorang dibentuk oleh faktor genetik dan lingkungan, maka temuan ini dapat menjelaskan perbedaan perilaku dan sikap manusia dari waktu ke waktu. Atau bisa juga diketahui apa sesungguhnya yang menghasilkan pola perolakub dan emosi yang kita sebut sebagai kepribadian.

Ada banyak cara untuk menjelaskan karakter seseorang, mulai dari karakter yang banyak bicara, pencemas, hingga pekerja keras dan teratur. Para psikolog mengkategorikan kepribadian manusia menjadi lima kelompok besar, yaitu ekstrovert atau terbuka, neurotisme, penyetuju, penyadar, dan pemikir.

Psikolog dapat menangkap gambaran kepribadian seseorang dengan mengenali kekecenderungan mereka berekspresi dari setiap kelompok tadi. Sejauh ini ilmuwan sudah mulai menghubungkan riset kepribadian dengan neurologi, mencoba mengetahui mekanisme otak yang bertanggungjawab pada perbedaan karakter.

DeYoung dan koleganya memindai otak 116 partisipan yang sebelumnya menjawap kuesioner lengkap untuk mengetahui kategori kepribadian mereka di antara lima kategori besar tadi. Kemudian, mereka saling mencocokkan gambar otak para partisipan. Gambar otak setiap partisipan diamati, terutama pada lima area yang memengaruhi kecenderungan kepribadian mereka. DeYoung dibantu dengan program komputer untuk mengamati semua area otak tersebut, sehingga dapat dilakukan perbandingan seberapa besar area masing-masing otak dan diketahui apa saja fungsinya. Hubungan antara ukuran wilayah otak denan kepribadian manusia bditemukan pada empat dari lima kategori besar kepribadian yang disebut tadi. Hanya pada kategori pemikir saja tak ditemukan.

Skor tertinggi ada pada kategori neurotisme, yaitu jenis kepribadian yang cenderung memiliki pengalaman emosi negative, termasuk panik dan kesadaran diri yang berhubungan dengan area otak bagian tengah cingulated cortex. Area ini diduga terkait dengan deteksi kegagalan dan respon terhadap kesakitan emosi dan fisik. Kepribadian neurotis memiliki area dorsomedial prefrontal cortex yang lebih kecil, yakni area otak yang mengatur emosi.

Kepribadian ekstrovert, yaitu mereka yang suka bergaul, mudah menerima, memiliki daerah medial orbitofrontal cortex yang lebih besar, sebuah area otak yang terlibat dalam proses pemberian penghargaan. Ini menjelaskan mengapa orang yang ekstrovert sangat sensitive pada penghargaan, dimana di lingkungannya ia sangat ingin dihargai dan diterima. Orang dengan kepribadian penyadar, cenderung punya disiplin diri tinggi, suka keteraturan, memiliki tengah frontal gyrus yang lebih besar, yakni area otak yang terlibat dalam daya ingat dan perencanaan.

Penelitian ini juga tidak mengatakan bahwa kepribadian seseorang akan berlaku sama selama hidupnya. Walau tidak mudah, kepribadian bisa berubah seiring dengan bertambahnya pengalaman dan lingkungan, serta pola pikir.

Diterjemahkan secara bebas dari LiveScience.com.

Enhanced by Zemanta

Orangtua Tak Sabar, Anak Susah Pintar

Tinggalkan komentar


Rasa tidak sabar dan kesal kerap melanda orangtua ketika mengajari anaknya belajar. Namun, implikasi rasa kesal dan tidak sabar tersebut ternyata mampu memicu anak menjadi stres. Akibatnya, anak semakin tidak mampu menyerap informasi yang diberikan.

“Ketika tubuh sedang stres, ada hormon yang dikeluarkan dan dilepaskan dalam aliran darah. Itu yang disebut hormon kortisol atau hormon stres. Hormon ini memiliki efek negatif terhadap kesehatan, seperti mengurangi kemampuan kognitif dan menekan fungsi normal dari tiroid. Karena itu, jangan heran ketika kita (orangtua) makin tidak sabar mengajari, anak justru makin bengong dan tidak bisa menjawab,” kata psikolog Sani B Hermawan, Sabtu (31/7/2010) di sela-sela acara Smart Parents Conference Jakarta.

Menurut Sani, jika anak berada dalam situasi tertekan, anak tidak bisa menyerap karena ketakutan. “Hormon itu kan bergiliran kerjanya. Kalau anak stres, maka ada hormon yang menghambat karena ada hormon lain yang muncul sehingga membuat anak tidak dapat menyerap informasi karena kepekaannya menghilang,” kata Sani.

Ketika anak diajar dengan bentakan dan hukuman (kalau salah, anak disuruh berdiri atau tidak boleh makan), proses penyerapan informasi anak justru menjadi tidak berhasil.

“Prosesnya sederhana seperti ketika anak dikejar anjing, maka yang saat itu jalan adalah emosi (rasa takut), bukan logika. Dengan demikian, logika menjadi tidak muncul. Sementara, emosi dan logika berperan penting dalam pembentukkan sikap. Kalau rasa takut muncul, maka akan menghambat logika rasa ingin tahu,” kata Sani.

Oleh karena itu, Sani menyarankan para orangtua agar menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Dengan begitu, anak-anak akan tertarik, ingin tahu, dan ingin mencoba-coba.

“Daya serap anak meningkat ketika ia merasa senang dan aman. Kalau anak itu senang, gate (pintu gerbang) di otaknya akan terbuka sehingga informasi juga mudah masuk,” kata Sani.

Cinta Ibu Menentukan Watak Anak

2 Komentar


Di usia balita, bukan hanya kebutuhan gizi saja yang wajib menjadi perhatian para orangtua. Inilah saat yang paling tepat menanamkan rasa cinta dan kasih sayang karena dampaknya akan terus terbawa hingga dewasa.

Meski bayi belum dapat membalas ucapan ayah ibunya, ia dapat menangkap rasa cinta yang disampaikan melalui tatapan, usapan, dan pelukan. Dan, ekspresi cinta yang ditangkapnya akan menjadi modal baginya untuk mengembangkan kekuatan emosional yang kelak membantunya mengatasi stres.

Karena itulah, para pakar menilai ikatan batin antara ibu dan anak menjadi kunci yang menentukan apakah seseorang akan tahan uji melewati berbagai fase kehidupan. Namun, sikap kasih sayang yang ditunjukkan secara berlebihan juga tidak disarankan karena bisa membuat anak merasa terganggu dan malu, terutama ketika anak mulai beranjak besar.

“Kasih sayang yang dicurahkan orangtua kepada anak bukan hanya mengurangi stres, tetapi juga membantu mengembangkan keterampilan sosialnya yang kelak membantunya di usia dewasa,” kata Dr Joanna Maselko.

Dalam risetnya, Maselko dan timnya mengamati 500 orang di Amerika sejak mereka bayi hingga dewasa. Ketika para responden itu masih bayi, peneliti menilai respons ibu mereka terhadap emosi dan kebutuhan anak. Misalnya menilai apakah terdapat interaksi yang hangat antara keduanya.

Tiga puluh tahun kemudian, para peneliti meminta para responden yang kini sudah dewasa itu untuk mengikuti survei mengenai emosi dan perasaan. Ternyata, responden yang dilimpahi kasih sayang oleh ibunya mampu mengatasi tekanan hidup secara lebih baik. Mereka juga mampu mengatasi kecemasan dan emosi negatif.

Dr Terri Apter, psikolog dari Cambridge yang sering melakukan studi mengenai hubungan ibu dan anak, mengatakan, orangtua harus bersikap responsif terhadap kebutuhan anak. “Setiap bayi lahir tanpa tahu bagaimana mengatur emosi mereka. Mereka mempelajari emosi dari kesusahan dan juga ketenangan yang didapatnya,” katanya.

Ibu yang responsif, lanjut Terri, paham apakah perhatian yang diberikannya sudah cukup atau kurang. “Ibu yang responsif bukan cuma tahu kapan harus memberi perhatian, tetapi juga kapan harus menjaga jarak,” ujarnya.

Apa Obat Terbaik Putus Cinta

2 Komentar


Efek jatuh cinta sama dengan kecanduan obat-obatan terlarang. Jatuh cinta dan sebaliknya putus akan mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan motivasi, penghargaan dan kecanduan.

Penelitian Universitas Stony Brook menunjukkan adanya hubungan antara penolakan otak terhadap putus cinta dengan ketagihan kokain melalui pindai otak. Studi menemukan hubungan romantis lebih berorientasi pada berhasilnya hubungan ketimbang adanya emosi tertentu.

Tim peneliti, yang dipimpin oleh Helen Fisher, seorang profesor penelitian dan anggota Pusat Studi Evolusi Manusia di Rutgers University, memantau aktivitas otak dari 15 mahasiswa. Para mahasiswa pria dan wanita heteroseksual tersebut baru saja putus dengan kekasih mereka dan mengaku masih mencintai dan ingin kembali bersama mantan.

Dari hasil uji gambar otak diketahui otak memperlihatkan adanya area yang terpengaruh setelah putus cinta yakni romantis (tegmental ventral), area hasrat dan kecanduan (nucleus accumbens dan korteks prefrontal) serta penderitaan fisik dan psikis (korteks dan cingulated anterior).

Itulah penyebab seringkali sulit mengontrol emosi dan perilaku ekstrem seseorang yang berakibat pada memata-matai, depresi atau bunuh diri akibat putus cinta.

“Perilaku ekstrem berhubungan dengan keinginan kuat. Orang yang sangat mencintai sering merasa orang lain hanya mencintai mereka demi imbalan. Tak mengherankan jika keinginan mereka terhalang, mereka mampu melakukan hal-hal ekstrem,” kata Fischer seperti dikutip dari Aol Health.

Dari studi ditemukan, obat terbaik putus cinta adalah waktu. Seiring berjalannya waktu, bagian otak yang terhubung pada kenangan menjadi kurang aktif saat melihat mantan kekasih. Meski menemukan bahwa cinta bersifat aditif, peneliti menemukan efeknya juga dipengaruhi masing-masing individu.

• VIVAnews

Pilihan Kopi Menunjukkan Karakter Anda

4 Komentar


Boleh percaya atau tidak, tapi inilah analisis dari pakar dan pimpinan Smell and Taste Treatment and Research Foundation, Alan Hirsch. Kata Allan, jenis minuman kopi yang kita minum bisa mencerminkan kepribadian sekaligus menggambarkan pernyataan sosial yang bersangkutan. Allan membagi enam tipe kepribadian berdasarkan pilihan jenis kopi.

1. Cappuccino mencerminkan pribadi yang menyukai segala sesuatu yang bernilai estetika dan juga kepribadian yang ceria.

2. Kopi hitam menggambarkan pribadi yang ambisius, fokus, pekerja keras, dan senantiasa “diburu-buru” target yang ia tetapkan sendiri. Bicara asmara, peminum kopi hitam adalah tipe pragmatis sehingga butuh usaha ekstra keras untuk memunculkan sisi romantis mereka.

3. Espresso menunjukkan tipe individu yang suka memimpin atau sosok yang selalu perlu kekuatan untuk memompa rasa percaya dirinya. Mereka adalah pekerja keras yang tak lantas menyerah hanya karena pernah gagal. Dalam urusan percintaan, mereka adalah orang yang berpengalaman, selalu menarik di mata lawan jenis, tapi kesetiaannya agak diragukan.

4. Skim latte mewakili pribadi pengayom dan cinta damai.

5. Frappuccino memperlihatkan karakter petualang dan menikmati hidup. Mereka dipenuhi ambisi sehingga selalu berenergi dan optimis, malah tak segan untuk mempertaruhkan segalanya. Sayangnya mereka mudah sekali merasa bersalah karena terlalu membebani diri sendiri. Pasangan yang cocok bagi pecinta frappuccino adalah mereka yang lebih tangguh sehingga bisa mengingatkan dia kapan harus mengerem ambisinya.

6. Iced coffee mencerminkan sosok yang santai, spontan, dan humoris. Biasanya yang bersangkutan memiliki pergaulan luas.

7 Rahasia Otak Pria

Tinggalkan komentar


Benarkah yang ada dalam otak pria hanya urusan seks? Benarkah pria juga bisa tersentuh hatinya hingga menitikkan air mata? Baca yang berikut ini untuk menguak rahasia otak pria.

1. Lebih emosional
Perempuan memang dikenal lebih emosional. Padahal sesungguhnya pria juga punya reaksi emosi yang kuat, tetapi itu sebelum mereka menyadari perasaannya.

Dalam sebuah penelitian yang dimuat di jurnal Scandinavian Journal of Psychology, diketahui begitu seorang pria sadar atau mengenali perasaan hatinya, mereka akan langsung memasang tampang datar. Tak heran kalau mereka dianggap lebih “kuat” menahan emosi.

2. Tak tahan kesepian
Meskipun ada saat-saat tertentu dalam hidup ini yang membuat kita merasa kesepian, ternyata perasaan sendiri ini lebih menyiksa bagi kaum pria. Penelitian menyebutkan kesepian bisa menyebabkan gangguan kesehatan.

Karena itulah, pria yang memiliki hubungan yang stabil cenderung lebih sehat, panjang umur, dan memiliki kadar hormon pelawan stres lebih tinggi. Studi yang dimuat dalam jurnal Biology of Reproduction tahun 2009 menyebutkan pria yang menikah memiliki tingkat kesuburan lebih panjang dibanding pria yang jomblo.

3. Fokus pada solusi
Banyak orang berpendapat bahwa kaum perempuan merupakan teman curhat yang baik karena mereka mudah berempati. Sesungguhnya “sistem empati” dalam otak pria juga memberikan respon saat orang lain terlihat stres atau bermasalah. Namun, bagian otak lain yang berfokus pada solusi segera mendominasi.

“Dengan segera berbagai solusi pada masalah segera bermunculan di otak pria,” kata Dr.Louann Brizendine, ahli psikologi klinik dari Univesity of California, AS. Akibatnya, pria akan lebih fokus untuk menawarkan solusi ketimbang menunjukkan solidaritas atau berempati pada perasaan orang lain.

4. Mudah tergoda
Hormon testosteron punya kaitan erat dengan sikap agresif dan kekerasan. Namun hormon ini juga mengatur libido. Pada pria, testosteron ini jumlahnya enam kali lebih banyak dibanding pada wanita.  Itu sebabnya laki-laki jauh lebih terobsesi terhadap seks daripada perempuan.

5. Posesif
Dalam teori evolusi, salah satu tugas pria adalah mempertahankan teritorinya. Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan area otak “mempertahankan teritori” ini lebih luas dibanding pada otak hewan betina. Meskipun perempuan juga punya kecenderungan untuk posesif, namun pria relatif tak segan menggunakan kekuatannya ketika teritori mereka, bisa berupa keluarga atau kekasih, terancam.

6. Menyukai hirarki
Hirarki yang tidak jelas bisa mendatangkan rasa cemas bagi pria. Mereka akan bingung menentukan siapa yang paling berkuasa. Karena itu sistem komando, seperti yang dipraktikkan oleh militer atau organisasi perusahaan, akan meredakan pengaruh testosteron dan mengekang sikap agresif pria.

7. Siap menjadi ayah
Pada saat kehamilan, bukan hanya hormon calon ibu yang berubah, tapi juga calon ayah. Pada pria juga akan terjadi peningkatan hormon prolaktin dan penurunan testosteron. Dengan kata lain, pada otak pria juga terjadi perubahan sedemikian rupa yang membuatnya siap menyambut calon buah hatinya.