Hati Gaduh.

1 Komentar


sebentar saja mengingatmu
secepat itu cepat landas hilang
sebentar saja melupakanmu
sekilat itu tak di duga datang
apa mau hati tentang gejolak

Tanpa mukadimah cinta menendangku angkuh
makin berlari, makin tersungkur pula
di lubang terjebak hitam mulai memerah
tampak buram adanya cahaya hilang
langit menopang agar aku tidak jingga

sang perempuan menawar enggan
menghibur udara sedih sekeliling
kosakata tak biasa ku dengar lugas
bahwa dia memantik tidak dengan harapan
dengan cara lain dia hidup pada hidupku

pada satu sachet kopi tak murni
aku mulai menjumpainya dengan sapa
berbeda dari yang biasa, memang
itu awal aku menegur dengan canda
manis sekali ketika itu…
seperti kopi baru ku seduh

dengan buku aku memberi harga
menyampaikan pesan yang benar-benar
apa yang terjadi dengan indera
sinar yang mengemplang hati
bagai morse mulai berisyarat

entah mengerti atau tidak satupun
pesan singkat memanggil paksa
bicara akan isi buku yang dalam
sekedar itu saja tanpa bahasan lain
atau …….

waktu berlari menjadi khusus
berlanjut hilang ketika satu hilang
suara kadang ada atau tidak menjawab
sangat perih untuk masing-masing
merasa hilang lalu menjadi gelisah

Romansa ber-entah terjalin abu-abu
memangkas sedikit waktu ku
hati yang bergejolak gaduh
memanggilnya paksa tanpa perintah

dalam hati yang gaduh
dengan cara lain dia hidup dalam hidupku
seperti kopi yang baru ku seduh
sangat manis sekali ketika itu
awal aku menegurnya dengan canda
pada satu sachet kopi tak murni

dalam hati yang gaduh
aku menunggu sinar….
benderang……
dan gemerlap…

waktu…

Tinggalkan komentar


Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?….
Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.

Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.
Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, diatas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.

Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi,
Dan mengetahui bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini dan esok hari adalah harapan.

Dan bahwa yang bernyanyi dan merenung dari dalam jiwa, senantiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa.

Setiap di antara kalian yang tidak merasa bahwa daya mencintainya tiada batasnya?
Dan siapa pula yang tidak merasa bahwa cinta sejati, walau tiada batas, tercakup di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari pikiran cinta ke pikiran cinta, pun bukan dari tindakan kasih ke tindakan kasih yang lain?

Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbagi dan tiada kenal ruang?Tapi jika di dalam pikiranmu harus mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah tiap musim merangkum semua musim yang lain,Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.

Oleh: -Habib Berkelana-
Kata-Kata Indah Para Pujangg

Pelangi Kehidupan

6 Komentar


Di desa kejari dimana penduduknya harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari namun dalam kondisi masyarakat yang terbatas itu jalinan silaturahmi antarwarga semakin erat setiap harinya dan di desa inilah seorang pemuda calon pemimpin masa depan bangsa lahir.

Suatu pagi, banyak orang sudah memadati pasar tradisional yang bernama Pasar Legi  dimana kehidupan orang banyak tergantung dari hasil berjualan maupun menjadi buruh angkut di pasar tersebut. Hawa dingin terasa sangat menusuk tulang kala itu, burung-burung pun mulai berkicau barsahut-sahutan dengan bunyi ayam berkokok semakin menambah suasana ramai manakala sang fajar tampak sudah mulai menampakkan diri. Orang-orang pun  semakin bergegas memulai aktivitasnya pagi itu, ada yang mengangkut barang, menyiapkan tempat buat berdagang, ada yang sibuk menghitung uang hasil transaksi jual beli antara pedagang dengan pemasok barang dagangan  dan ada pula yang sibuk mengais sisa barang dagangan yang diangkut oleh buruh angkut seperti sayuran, daging dan sebagainya.

Dengan mengenakan pakaian lusuh, sandal jepit serta peci yang kelihatan sudah usang tetapi pemuda tersebut kelihatan sangat tekun mengais sisa sayuran dan daging yang tercecer di dalam truk pengangkut sayuran maupun di sepanjang jalan pasar.

“Ziz, kamu dapat berapa plastik hari ini?” Tanya edi teman kecilnya aziz yang juga seprofesi dengan aziz.

“tidak terlalu banyak sih ed, tapi alhamdulilah bisa buat makan sampai besok.” ucap aziz penuh syukur.

Ya  pemuda tersebut bernama aziz, sesuai dengan namanya aziz tumbuh menjadi pemuda yang tangguh dan ulet dalam mengerjakan segala sesuatunya di samping semua itu dia juga termasuk anak yang pintar meskipun keadaan berkata lain dengan kondisi perekonomian keluarganya yang memburuk sepeninggal ayahnya karena kecelakaan lalu lintas sejak Aziz berumur 5 tahun, aziz pun harus mencukupi kebutuhan sehari-hari menggantikan peran ayahnya sebagai kepala keluarga sehingga dirinya lebih memilih putus sekolah di tengah jalan dan beralih untuk bekerja.

“Éd, aku pulang dulu y kasihan ibuku sudah menunggu untuk membuat sarapan, assalamu’alaikum.” pamit aziz sambil bergegas menuju rumahnya.

“iya, hati-hati y dengan preman pasar kalau bertemu diam saja, jangan melakukan hal yang tidak perlu, wassalamu’alaikum” jawab edi.

Di depan Pasar tampak dua orang preman pasar sedang menunggu mangsa untuk dimintai uangnya. Begitu melihat hal tersebut aziz pun tampak gugup dan ketakutan, dia pun memilih bersembunyi di dalam becak yang sedang kosong. Tak berapa lama kemudian dua orang preman itu pun prig dan mencari lahan baru yang tentunya lebih strategis untuk mendapatkan uang dengan cara yang tidak halal.

Azizpun tersenyum dan secepat kilat berlari menuju rumahnya yang memang tak jauh dari pasar.

“tok, tok, tok, assalamu’alaikum Bu…Bu cepat bukain pintunya!” pinta Aziz dengan ketakutan.

“Iya ini Ibu bukain, sabar sih kenapa nak.”

“maaf Bu, tadi ada preman pasar jadi Aziz ketakutan.” Jawab Aziz dengan polosnya.

“ohh….biar nanti Ibu marahin kalo preman itu sampai mengganggu anakku tersayang.” Jawab Ibu menenangkan hatinya Aziz.

“iya, makasih ya Bu, sekarang Aziz jadi tidak takut lagi”

“Ziz, kamu kan sekarang sudah menginjak umur 14 tahun, kamu sudah besar sudah saatnya untuk meniti langkah mewujudkan impian kamu.”

“tapi nanti Ibu…..”

“sudah, Ibu tidak usah terlalu dipikirkan kalau kamu bahagia Ibu juga pasti bahagia kok apalagi kalau melihat anak Ibu berhasil.” ucap Ibu sedikit terharu.

“Baik Bu, Aziz akan membuat Ibu tersenyum bahagia karena Aziz.” Ucap Aziz dengan penuh tekad.

“ya sudah, mana sayuran dan daging yang kamu bawa dari pasar ziz?”

“ini bu” sambil menyerahkan dua kantung plastic masing-masing berisi sayuran dan daging yang diambil Aziz tadi di pasar.

“sekarang kamu mandi dan pakai pakaian yang rapi karena pamanmu dari Jakarta akan segera datang.”

“siap bos” balasnya dengan penuh kegembiraan karena setiap pamannya dating pasti membawa buah tangan untuk Aziz dan Ibunya.

Dengan cepat Aziz segera melepaskan pakaiannya serta peci kesayangan peninggalan Bapaknya yang sudah tiada dan melesat menuju kamar mandi.

Beberapa jam kemudian.

“Tok, tok, tok…assalamu’alaikum” suara ketuk pintu saling bersahutan.

“Wassalamu’alaikum, siapa ya?” tanya sang Ibu sambil membuka pintu.

“ohh…paman…kirain mayang siapa….silahkan masuk paman…anggap saja seperti rumahnya sendiri” sapa Ibu dengan hangat sambil mempersilahkan untuk masuk.

“hehehe…kamu tidak berubah y mayang semenjak ditinggal Bambang suamimu itu, kamu tetap aja ramah dan hangat.” Puji paman pengan jujur.

“ah, paman bisa saja memang wataknya mayang seperti ini mau gimana lagi, oh ya aku panggilkan anakku dulu y, Aziz….Aziz…sini ke ruang tamu ada Pamanmu datang jauh-jauh dari Jakarta nih.”

“iya Bu, sebentar.”sahut Aziz.

Aziz pun bergegas keluar dari kamar dan segera menemui pamannya.

“wah, Aziz….jd besar sekali ya…terakhir paman lihat kamu sejak kamu berumur 6 tahun.” Puji pamannya.

“hehe….paman bisa saja, Aziz kan memang lagi masa pertumbuhan.” Jawab Aziz merendah.

“Sudah makan belum Ziz?” Tanya paman.

“sudah kok tadi”

“oh, syukurlah kalau begitu…begini Ziz, maksud kedatangan paman kesini adalah….” Menghentikan sejenak pembicaraannya.

“memang ada apa paman?maksud kedatangan paman apa?” Tanya Aziz penuh penasaran.

“Paman, mau menyekolahkan kamu!” jawab Paman dengan tegas.

“………………..” Aziz diam seribu bahasa tak tahu dia harus menjawab apa.

Sementara itu di samping Aziz, Ibunya tampak mulai terharu namun tetap menahan perasaaan sedih sekligus bahagia yang bercampur aduk di dadanya.

Dalam sejenak suasana larut dalam keheningan. Terdengar suara detak jam dan keramaian pasar di seberang rumah. Semuanya masih diam tapi tiba-tiba….

“Bagaimana tanggapan kamu Ziz?” Tanya paman memecah kehingan.

“umm….Paman serius?” Tanya Aziz ragu.

“Ya ampun, ya serius Ziz, kamu tidak percaya sama Pamanmu sendiri?” Paman balik Tanya.

“Aziz percaya kok….tapi nanti Ibu bagaimana?” ucap Aziz sedih.

“Ibumu sudah membicarakan hal ini dengan paman dan kami sudah sepakat, nanti beberapa bulan sekali Ibumu akan datang berkunjung kok ke rumah paman untuk menengok kamu,  kamu tidak usah khawatir ya.” Jawab Paman dengan lembut.

“baik paman…tapi kehidupan Ibu disini bagaimana?”

“nanti sebulan sekali Paman akan mengirimkan uang untuk mencukupi kebutuhan Ibumu, kamu tenang saja ziz.” Jawab Paman.

“terus kapan kita berangkat ke Jakarta Paman?” Tanya Aziz.

“Insya Allah hari sabtu besok kita sudah berangkat menggunakan mobilnya Paman.”

“Ziz, sekarang kamu mempersiapkan segala perlengkapan yang mau dibawa buat pergi ke Jakarta mumpung sekarang masih hari kamis jadi masih banyak waktu untuk mempersiapkan segalanya.” Nasehat Ibu.

“Baik Bu.” Sahut Aziz.

Aziz pun bergegas menuju kamarnya menyiapkan segala perlengkapan yang akan dibawanya ke Jakarta.

Sementara itu, Ibu dengan Paman masih asyik ngobrol di ruang tamu karena mereka memang sudah lama tidak berjumpa.

Tak berapa lama pun senja sudah tiba, Paman pun segera berpamitan dan bergegas kembali ke hotel sebelum malam.

Setelah Aziz menunaikan ibadah shalat maghrib, masih mengenakan pakain muslim dan peci Aziz pun menuju ruang makan disana Ibunya sudah menunggu untuk makan malam bersama.

“Ziz, besok hari Jumat ya?” Tanya Ibu dengan tiba-tiba.

“iya Bu, memang ada apa bu?”

“Ah gak kok Ziz…Ibu cuma……” menghentikan pembicaraan dengan tiba-tiba.

“Cuma apa Bu?kalau Ibu ada sesuatu cerita saja ma Aziz.” Terang Aziz.

“Ibu pasti bakal kangen sama kamu Ziz….nanti yang bantu-bantu dan merawat Ibu siapa ya…”

“eh, maaf Ziz…Ibu jadi ngelantur kayak gini…udah dimakan saja, Ibu sudah menyiapkan sayur asem sama tempe goreng kesukaan kamu.”

“loh, tumben Ibu masak special kayak gini…ada apa bu?”

“ah, gak ada apa-apa kok…”

“Bu…..Aziz pasti bakalan kangen sama masakan Ibu sama nasehat-nasehat Ibu pokonya Aziz kangen sama Ibu….” Ucap Aziz dengan mulut bergetar.

Mereka pun berpelukan, timbul suasana haru dan sedih mneyelimuti mereka.

Beberapa hari kemudian saat keberangkatan Aziz pun tiba.

“Cepetan Ziz…Pamanmu sebentar lagi datang loh.”

“Iya, sebentar Bu, Aziz lagi pakai sepatu.” Jawab Aziz.

Tak lama kemudian, terdengar suara deru mobil yang semaikn kencang.

“ya ampun Aziz, Pamanmu sudah datang. Ayo cepetan!”

“iya Bu, ini Aziz sudah keluar.” Sambil menuju ke ruang tamu dimana Pamannya sudah menunggu.

“Bu, Aziz pamit dulu ya…Ibu baik-baik ya di rumah…Aziz sayang Ibu…..” sambil memeluk erat Ibunya.

Sang Ibu pun tampak tidak bisa menahan kesedihannya sehingga air mata pun tumpah membasahi lantai.

Setelah Paman dan Aziz pamitan. Mereka pun segera melakukan perjalanan ke Jakarta.

Aziz pun tampak melamun di dalam mobil membayangkan bahwa Aziz akan segera mewujudkan impiannya membahagiakan sang Ibu tercinta.

Setelah menempuh satu hari perjalanan ke Jakarta akhirnya sampai juga di kediaman Pamannya yang apabila dibandingkan dengan rumahnya, rumah Pamannya itu teramat mewah bagi dirinya.

Sesampainya di depan gerbang rumah tiba-tiba dengan sigap dan ramah seorang Satpam segera membukakan pintu buat pamanku.

Setelah sampai depan rumah, aku pun segera turun sambil membawa perlengkapan yang aku bawa.

“Ziz, kamu masuk aja ke dalam, nanti biar Bu Indri pembantu di rumah ini yang mengantarkan kamu ke kamarmu.” Ucap Paman.

“baik Paman.” Sahut Aziz.

Setelah masuk ke dalam rumahnya tampak sedikit kagum campur terkejut melihat isi rumah Pamannya itu.

“kalau saja aku punya rumah seperti ini aku pasti bisa bahagiain Ibu sehingga untuk mencari makan saja tidak perlu mengais di Pasar Tradisional.”  Gumam Aziz dalam hati.

Ketika Aziz tengah asyik memandangi setiap sudut rumah dengan segala perabotan yang lengkap dan segala lukisan indah yang terpasang di setiap dinding ruangan itu tiba-tiba….

“maaf apakah ini mas Aziz?” Tanya seseorang wanita paruh baya dengan memegang sapu ditangannya.

“eh…iya Bu…” jawab Aziz dengan malu-malu.

“perkenalkan saya Bu Indri pembantu di rumah ini, kalau mas perlu apa-apa bisa menghubungi saya, silahkan mas biar saya antarkan ke kamarnya mas…” ajak Bu Indri ramah.

“iya, terima kasih Bu.” Balas Aziz.

Aziz pun mengikuti Bu Indri di belakang dengan membawa  perlengkapannya.

“ini mas kamar kamarnya, kalau mas perlu apa-apa bilang aja sama saya.”

“wah, terima kasih banyak ya bu.” Jawab Aziz senang.

Bu Indri pun segera kembali ke belakang melanjutkan aktivitasnya kembali.

Dengan cekatan Aziz segera mengeluarkan perlengkapannya ada pakaian, buku, dan sebagainya.

Aziz pun membawa handuk dan pakaian ganti, udara kota Jakarta yang panas serta rasa lelah yang melanda sehabis perjalanan juah membuat Aziz ingin segera mandi dan beristirahat.

Langkah demi langkah Aziz berjalan menuju kamar mandi dekat kamarnya namun…

“Waaaaaaaa……siapa kamu??apa-apaan ini?” teriak seorang wanita berparas cantik dan sebaya dengan Aziz.

Rupanya wanita ini kaget serta terkejut mendapati seorang lelaki memergokinya sehabis mandi.

“mma…maaf non…saya tidak sengaja….” mohon Aziz dengan ketakutan.

“ ya sudahlah tidak apa-apa, kebetulan saya juga Cuma kaget, kalau boleh tahu mas ini siapa ya?” Tanya wanita itu penasaran.

“terima kasih ya non…nama saya Aziz, saya keponakannya Pak Rahmat pemilik rumah ini.” Jawabnya lembut.

“apa??jadi kamu ini saudaraku ya?aku anaknya Pak Rahmat, namaku Rahmi Darmawan panggil saja aku rahmi, salam kenal.”

“ya ampun ternyata kita saudara ya…hehe…” jawab Aziz dengan tersenyum.

Mereka pun berjabat tangan dan berkenalan namun tak lama setelah itu mereka segera melanjutkan aktivitas masing-masing yang sempat tertunda barusan.

Aziz pun memulai sekolahnya keesokan harinya sebagai siswa home schooling sedangkan Rahmi bersekolah di salah satu SMA favorit di Jakarta.

Setelah beberapa tahun menempuh pendidikan masing-masing akhirnya keduanya lulus dengan nilai yang memuaskan.

Dengan nilai yang memuaskan tersebut ada salah satu perusahaan yang menawarkan beasiswa kepada keduanya untik menempuh jenjang S1 di luar negeri namun Rahmi menolaknya.

Aziz pun setuju untuk menempuh penduidikan di luar negeri tepatnya di negeri tempat lahir Abraham Lincoln yaitu Amerika Serikat, sedangkan Rahmi melanjutkan kuliahnya di Universitas Indonesia.

Beberapa minggu sebelum keberankatan Aziz ke luar negeri, Aziz pun mengunjungi Ibunya tercinta. Sesampainya di rumah, Aziz segera memeluk Ibunya dan mencium kaki Ibunya tanda terima kasih atas kerja keras dan kasih sayang Ibu mendidik dan membimbing Aziz hingga Aziz menjadi seperti sekarang ini meskipun tanpa dukungan dari ayahanda tercinta yang sudah tiada.

Aziz pun mendirikan warung di depan rumah sebagai penopang hidup Ibunya dengan uang hasil menjual sayuran sisa semasa kecilnya tepatnya semenjak Aziz berumur 8 tahun.

Ibunya pun bangga akan anak satu-satunya itu.

“Ziz, meskipun kamu sebentar lagi akan meninggalkan tanah air untuk menuntut ilmu, jangan lupa untuk selalu bersyukur serta beribadah kepada Allah SWT karena kalau bukan karena kehandak-Nya kamu tidak mungkin bisa jadi seperti ini.” Nasehat Ibu kepada Aziz.

“Baik Bu, insya Allah Aziz akan selalu ingat nasehat Ibu dan istiqomah mengamalkan nasehat Ibu ini.” Jawab Aziz dengan penuh tekad.

Keesokan harinya Aziz berangkat lagi ke Jakarta untuk menempuh perjalanan menuju Amerika Serikat tempat Aziz akan menuntut ilmu.

“Bu, Aziz pamit dulu ya….Ibu kalau kangen atau ingin member kabar sama Aziz bisa menggunakan Handphone didalamnya ada buku petunjuk penggunaan HP tersebut.” Sambil menyerahkan satu kardus isi Handphone.

“wah, terima kasih ya nak….semoga engkau makin sukses aja dan selalu ingat nasehat Ibu ya jangan pernah tinggalkan shalat dan sedekah.” Kembali sang Ibu tidak henti memberikan nasehatmya.

“Baik Bu…Ibu jaga diri baik-baik di rumah ya…Aziz pamit dulu.” Sambil mencium tangan Ibunya.

Aziz pun berangkat ke Jakarta dengan menggunakan Bus.

Setelah kurang lebih satu hari menempuh perjalanan akhirnya sampai juga di Jakarta, Aziz pun turun dan berangkat ke Bandara Soekarno hatta dengan naik taksi.

Tampak dalam perjalanan menuju Bandara, Aziz tidak pernah menoleh dari jendela taksi menyaksikan kehidupan di kota Metropoiltan untuk yang terakhir baginya.

Tak terasa Aziz pun sudah sampai di Bandara, pesawat keberangkatan menuju Amerika Serikat sebentar lagi akan lepas landas, segera Aziz berjalan cepat menuju pesawat yang akan mengantarkan dirinya ke Negara yang terkenal dengan olahraga softball tersebut.

“Alhamdulillah…akhirnya sampai juga di pesawatnya.” Gumam Aziz sambil mencari tempat duduk sesuai dengan tiket pesawat yang dipesannya itu.

Setelah duduk dan mengenakan sabuk pengaman Aziz pun tampak dengan nyaman menikmati perjalanannya karena bagi Aziz terbang dengan pesawat adalah pengalaman pertama  dan merupakan hal yang sangat berkesan dalam hidupnya. Ia bertekad akan serius belajar dan sukses sehingga dapat membuat Ibunya bangga dan Bapaknya yang sudah tenteram di alam sana pun turut bangga terhadap dirinya.

Akhirnya setelah menempuh sekitar 15 jam perjalanan Aziz pun menginjakkan kakinya di Negara yang terkenal akan perkembangan teknologi yang pesat tersebut. Dan masa depan Aziz  pun dimulai dari sini.